Subsidi Listrik Tepat Sasaran
Pemberian subsidi listrik harus ditata lebih baik lagi karena saat
ini ada 20,5 juta pelanggan PT PLN yang tidak layak menerima subsidi.
Harus ada kebijakan yang tepat sasaran agar subsidi listrik benar-benar
diberikan kepada rakyat miskin dan rentan miskin.
Selama bertahun-tahun, warga yang mampu masih menikmati subsidi
listrik. Dana triliunan rupiah yang dikucurkan pemerintah bagi subsidi
listrik itu bisa dialihkan untuk mendanai program-program pembangunan
yang bisa menggerakkan roda perekonomian. Oleh karena itu, langkah
pemerintah bersama DPR yang akan mengurangi subsidi listrik pada tahun
depan patut mendapat dukungan.
Setiap tahun subsidi listrik yang dianggarkan pemerintah memang terus
diturunkan, namun jumlahnya masih tergolong sangat besar. Pada 2014,
anggaran subsidi listrik sebesar Rp 94,26 triliun dan turun menjadi Rp
66 triliun pada 2015. Pada RAPBN 2016, pemerintah dan DPR sepakat untuk
kembali menurunkan subsidi listrik menjadi Rp 38,39 triliun.
Dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2016, subsidi tetap diberikan kepada
pelanggan rumah tangga miskin dan rentan miskin dengan daya 450 VA dan
900 VA. Subsidi itu akan diberikan kepada 24,7 juta rumah tangga miskin
dan rentan miskin.
Angka itu sebenarnya masih jauh di atas data Tim Nasional Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), yakni ada 15,5 juta rumah tangga yang
tergolong miskin dan rentan miskin. Tapi, persoalannya bukan hanya
pengurangan subsidi. Selama ini, subsidi diberikan kepada 45,2 juta
pelanggan PLN. Artinya, ada 20,5 juta pelanggan yang masuk kategori
tidak layak menerima subsidi dari pemerintah. Hal itu membuktikan bahwa
penerima subsidi listrik selama ini tidak tepat sasaran.
Subsidi yang tidak tepat sasaran itu terjadi karena pola pemberiannya
sangat sederhana, yakni kepada semua pelanggan yang memasang daya 450
VA dan 900 VA. Pola semacam ini mirip dengan subsidi BBM, yaitu
memberikan subsidi kepada bahan bakar jenis premium, sehingga salah
sasaran.
Pada pemberian subsidi BBM, banyak pemilik kendaraan pribadi,
terutama mobil, yang menikmati kebijakan itu. Masyarakat miskin dan
rentan miskin, yang tentu saja tidak memiliki mobil, tidak bisa
merasakan harga BBM yang disubsidi.
Dalam APBNP 2015, subsidi BBM mencapai Rp 276 triliun yang ternyata
70% dinikmati oleh masyarakat yang tidak layak menerimanya. Kesalahan
dalam pemberian subsidi BBM itu juga terjadi pada pemberian subsidi
listrik.
Lebih 45% atau 20,5 juta dari 45,2 juta pelanggan listrik yang
mendapatkan subsidi tidak layak menerimanya. Angka itu muncul dengan
asumsi tidak ada kesalahan antara data TNP2K dengan kenyataan di
lapangan. Selama ini, PT PLN memasang listrik berdaya 450 VA dan 900 VA
hanya berdasarkan kebutuhan setrum pelanggan.
Pemasangan bukan berdasarkan kategori kemampuan ekonomi masyarakat.
Hal itu dilakukan karena memang tidak ada aturan yang tegas mengenai
kategori pelanggan. PLN juga mengalami kesulitan untuk menyesuaikan data
TNP2K dengan data pelanggan. Hanya sekitar 40% data pelanggan PLN yang
sesuai dengan data TNP2K, di mana banyak alamat penduduk miskin dan
rentan miskin yang tidak lengkap.
Ada banyak kasus yang memperlihatkan subsidi listrik tak tepat
sasaran. Survei yang dilakukan PLN, misalnya, ada pelanggan yang sebulan
menghabiskan uang sebesar Rp 143.000 untuk membeli rokok, dan Rp
138.000 untuk pulsa telepon genggam. Tapi, untuk tarif listrik, dia
hanya mengeluarkan uang sebesar Rp 80.000.
Bahkan, seorang petinggi PLN pernah menemukan ada rumah yang memiliki
mobil mewah hanya memasang daya listrik 900 VA. Modusnya, pelanggan itu
memasang 2-3 meteran berdaya 900 VA agar mendapatkan tarif yang murah
atau yang mendapatkan subsidi.
Seperti diketahui, tarif listrik per September 2015 adalah Rp
415,5/kWh untuk golongan 450 VA, Rp 586,23/kWh untuk 900 VA, Rp
1.347,72/kWh untuk 1.300 VA, dan Rp 1.497/kWh untuk 3.500-5.500 VA.
Pencabutan subsidi bagi 20,5 juta pelanggan yang selama ini
dikategorikan tidak layak menikmati subsidi tentu akan menjadi persoalan
tersendiri bagi PLN.
Persoalan utama, PLN hanya memiliki waktu dua bulan atau sampai akhir
Desember untuk menertibkan pelanggan yang tak layak menerima subsidi.
Ini tidak mudah, karena PLN harus mengecek secara langsung ke setiap
rumah penduduk untuk menentukan siapa saja yang layak menerima subsidi
itu.
Persoalan lain, bisa jadi PLN juga menghadapi kenyataan bahwa masih
banyak rumah tangga miskin dan rentan miskin yang belum dialiri listrik,
sehingga mereka belum tersentuh subsidi. Jika ini yang terjadi, ada
kemungkinan jumlah pelanggan yang harus dicabut subsidi lebih dari 20,5
juta orang.
Kesulitan-kesulitan itu tidak bisa dipecahkan oleh PLN sendiri.
Pemerintah bersama DPR memiliki peran yang signifikan untuk mencarikan
solusi bagi PLN agar subsidi listrik tepat sasaran. Pemerintah bersama
DPR perlu mengeluarkan kebijakan yang tepat agar hanya masyarakat miskin
dan rentan miskin yang benar-benar menerima subsidi.
Salah satu kebijakan yang bisa diambil pemerintah dan dibahas bersama
DPR adalah memberikan subsidi listrik kepada masyarakat yang memiliki
kartu keluarga miskin. Sebaiknya, tarif listrik tidak dibedakan. Berapa
pun daya yang dipasang pelanggan, semua tarifnya sama.
Masyarakat penerima subsidi diberikan potongan harga ketika mereka
hendak membayar tarif sambil menunjukkan kartu keluarga miskin. Kita
juga perlu menggugah kesadaran masyarakat yang tak layak menerima
subsidi. Masyarakat golongan ini harus sadar bahwa subsidi yang mereka
terima selama ini bisa dialihkan untuk program-program pembangunan dan
pengentasan kemiskinan. Mereka bisa memberikan sumbangsih bagi
kemakmuran Indonesia.
Sumber : http://sp.beritasatu.com/tajukrencana/subsidi-listrik-tepat-sasaran/100063
0 komentar:
Posting Komentar